Jumat, 30 Desember 2016

NILAI SEBUTIR NASI

NILAI SEBUTIR NASI


Sebutir nasi yang kita makan adalah rentetan kerja keras yang mendahuluinya. Maka selayaknya kita bisa mengharai setiap nikmat yang di rasa dengan bersyukur dalam rangkaian doa. Dan senantiasa bijak dalam wujud tindakan nyata.



Diceritakan di sebuah kerajaan kecil. Sang Raja memiliki seorang putra yang sangat  di manjakan. merasa sebagai anak semata wayang, sekaligus putra mahkota kerajaan.  dia tumbuh menjadi remaja yang urakan. tidak tau sopan santun, tidak menghargai orang lain.
Sang pangeran mempunyai seorang sahabat, yaitu putra si juru masak istana yang tinggal di belakang istana kerajaan.

Suatu hari, saat menjelang santap siang pangeran memanggil sahabatnya untuk menemaninya bersantap siang. dengan perasaan enggan, karena tidak berani menolak perintah sang pangeran. si sahabat kecil duduk manis di samping pangeran.

Pangeran pun memulai khusul berdoa, sebelum santap siang. tersedia beraneka ragam hidangan di meja. dengan santai dan sikap urakan, pangeran menyelesaikan santap siang dengna butiran nasi yang tercecer disana-sini dan bekas makanan serta sisa lauk pauk yang ditinggalkannya begitu saja.

menyaksikan ulah pangeran yang seperti itu, si sahabat menampakkan senyum simpul kemudian tertawa kegelian. sambil melotot sang pangeran bertanya marah.

Sabtu, 26 Maret 2016

Hai.... Apa Kabar ?


Adakah engkau disana sepertiku
Memasuki dunia hayalanku yang mencaci
Aku berhayal berduaan dengan mu
Dimana aku dapat tertawa bersamamu, menggemgam tanganmu

Wahai cintaku disana
Mengapa kau tak mengenaliku
Kau tak tahu apa yang ada di hatiku
Kau tak tahu jika aku selalu memandai wajah indahmu

Adakah engkau disana sepertiku
Yang tidak sadarkam diri akan cinta yang bersemi
Yang tak mampu mengucapkan kedalaman kerinduan
saat berhadapn denganmu

Aku yang terkurung di ruang cinta dan keriduakan ku
Tak dapat berucap padamu, bahkan walau telah menyentuhmu
Setiap menatap matamu, terasa menusuk ke jantung hatiku
Engkau cintaku, cinta terpendamku
Engkau Rinduku, Rindu yang tak bertuanku